Jalan-jalan sore alias ngabuburit menjelang berbuka itu memang sesuatu. Sore kemarin setelah penat berhadapan dengan monitor, berusaha mengejar target harian, saya memutuskan keluar rumah untuk sekedar menyegarkan mata dan pikiran. Sekaligus pula menikmati berkendara motor yang baru saja di servis cvt nya yang berujung ganti belt dan rollernya … lumayan menenangkan diri merasakan tarikan yang nyaman meskipun dalam hati masih shock saat bayar biayanya total sejutaan ! … seingat saya servis terakhir sekitar 4-5 bulan lalu hanya ganti oli, dan sebelumnya entah kapan, tetap saja saat ini untuk belanja menyehatkan motor kalau sampai sejutaan itu kok masih ngga rela yah ? … yasudah nikmati saja kenyamanannya saat ini
Biar semangat ngabuburitnya saya tambahkan tujuan kemana jalan-jalannya, dengan mengingat semalam ada permintaan istri yang kepengen rambutan binjai, dengan catatan jangan seperti pembelian sebelumnya yang kebanyakan sudah terlalu matang, karena memang pembelian sebelumnya bukan di penjual langganan di kawasan cideng. Fix, target utama beli rambutan buat nyenengin istri (note: bukan karena ngidam yah!)
Setelah dipanaskan sebentar motornya, gas kan lah. Sebelumnya saya berputar dulu ke arah lain untuk beli kelapa muda, agak jauh sedikit memang, tapi sudah melalui analisa pertimbangan antara jarak-kualitas-harga, terbukti langganan kelapa muda yang satu ini adalah terbaik untuk saat ini sewilayah tanah abang-bendungan hilir raya-gambir. Apalagi memang ada tujuan menikmati ringannya mesin dan halusnya bunyi, jauh sedikit malah bagus kan. Sampai disana seperti biasa selalu ada antrian, tapi sabar saja, penjualnya (suami-istri) pun sudah sangat piawai dalam mengupas dan mengemas kemasan kelapa murni. Saya selalu membeli hanya kelapa murni yang baru dikupas, tanpa gula dan lain-lain, alasannya apa mungkin nanti saya ceritakan di lain artikel, yang pasti sang Bapak/Ibu penjual kalau sudah melihat wajah saya dan motor saya langsung paham apa pesanan saya, jadi ngga perlu banyak basa-basi lagi, mungkin karena jarang yah permintaan kelapa murni seperti saya?, Dengan menganut prinsip FIFO dalam antrian, mereka akan langsung mempersiapkan 3 bungkus kelapa saat giliran saya tiba. Sekitaran 10 menit pesanan saya sudah siap, lanjut ke target selanjutnya, beli obat sakit kepala dan flu untuk mengisi stok yang sudah habis.
Kali ini rutenya tidak perlu berputar menjauh, namun searah ke target tujuan akhir. Pedagang obat di Tanah Abang sudah cukup terkenal, mereka tersebar di ruko-ruko yang menjamur di jalan kebon kacang 1. Harganya yang bersahabat membuat mereka tetap dapat bertahan di tengah terpaan Online Shop saat ini, menarik juga untuk di bahas kemudian hari. Tapi yang bikin saya malas tuh parkirnya, padat riweh, jadi saya tidak akan betah berlama-lama disini karena kurang nyaman apalagi kalau punya tujuan refreshing, malah tambah mumet nanti, cukup 5 menitan saja saya belanja di salah satu komplek ruko, lanjut ke target akhir, Rambutan di Cideng!.
Sekitaran 5 menit berkendara santai saya sudah sampai ke lokasi penjual langganan. Terlihat hanya ada 2 gerobak dorong buah yang berjejer di sepanjang jalan tersebut, biasanya ada 3-4, sepertinya sedang sepi pembeli atau stok buah belum turun kesini. Dari jauh saya sudah curiga, sepertinya tidak ada rambutan binjai yang saya mau, padahal baru seminggu lalu saya belanja disini.
“Ini binjai terakhir ya pak, udah ngga musim, saya besok mau dagang duku”, saya teringat kalimat penjual di minggu lalu.
Saya pikir itu hanya taktik dagang mereka supaya saya borong sisa rambutan binjai dagangannya.
Secara fisik rambutan binjai sepintas hampir sama dengan parakan, apalagi kalau agak jauh melihatnya, saya belum bisa bedakan. Dan benar saja, binjai habis, tersisa parakan dan rapiah. Agak kecewa juga, dan sedih karena lumayan lama berbulan-bulan menunggu sampai musim rambutan binjai datang kembali.
Sepertinya sang penjual sudah cukup jeli melihat kekecewaan saya, si Bapak langsung menawarkan rambutan rapiahnya yang sedang terpajang rimbun dan segar bergelantungan diatas gerobak dagangan nya, sangat menggoda. Saya sangat jarang membeli rambutan rapiah, bukan karena tidak suka, tapi karena harganya itu loh, 2x lipat binjai!, sekarang sudah Rp 50.000,-/3 ikat. Memang beda yah kalau penjual yang senior berpengalaman, mereka langsung bisa melihat celah kesempatan.
“Sudah pak, rapiah ini saja, baru dateng seger-seger dan besar-besar, sayang ini barang bagus pak”, ujarnya menggoda.
Dari awalnya saya ragu akhirnya tertarik juga melihat kondisi buahnya yang memang terlihat segar-segar. Namun seperti biasa saya juga punya jurus agar tidak terlihat nurut begitu saja, sekaligus juga memperlihatkan bahwa saya kurang tertarik dengan rapiah, supaya dapat harga murah dong. Dan masing-masing pun mengeluarkan jurus andalanya dalam bernegosiasi. Saya mencoba mengalihkan ke rapiah yang berada di gerobak sebelah milik anaknya yang tampak sedikit berbeda, tetap segar namun lebih berbulu panjang.
“Ini rapiah juga? kok beda yah?” tanya saya sambil coba memperlihatkan acuh terhadap rambutan di gerobak sang Bapak.
“Iya pak, rapiah juga, jenis berbeda”, jawabnya
“Enak mana?” lanjut saya.
“Wah ini tergantung selera bapak, kalau yang berambut pendek agak botak ini dia agak kering, tapi kalau yang gondrong dalamnya agak basah, kalau manis mah sama-sama manis pak, ini langsung dicobain aja pak biar jelas bedanya” kata si Bapak sambil memberikan sebuah rambutan dari gerobaknya dan kemudian memberikan sebuah lagi rambutan dari gerobak anaknya.
Pura-pura ragu saya terima pemberiannya dan perlahan saya kupas dan mencobanya. Setelah yang botak lanjut ke yang gondrong. Saya berusaha menampilkan wajah yang datar-datar saja, meskipun rasa manis dan legit kedua rambutan tersebut sudah membuat saya mengambil keputusan untuk membelinya. Ini juga jurus kesekian dalam hal tawar-menawar, tidak boleh menunjukan nafsu untuk membeli.
“Ngga ada yang lain?” ujar saya sambil coba celingukan mencari gerobak lain.
“Ngga ada Pak, kecuali duku Palembang, ini juga mantap pak, baru semalam datang, bijinya kecil-kecil, dagingnya tebal dan manis, ini pak dicoba” jawab sang Bapak, namun langsung saya tolak.
“Saya ngga doyan duku Pak, ini rapiahnya yang gondrong berapaan?”, sambil acuh saya bertanya
“Sama Pak harganya dengan yang botak, Rp 60 ribu/3 ikat, tapi buat pelanggan Rp 50 ribu saja”, jawabnya.
“Wah masih mahal aja ni buah, ngga cukup duitnya”, sanggah saya sambil berpura hendak menyalakan motor dan jalan.
Ternyata jurus negosiasi saya masih cukup ampuh, transaksi terjadi di harga Rp 45 ribu / 3 ikat. Sambil menyalakan motor saya tersenyum membayangkan wajah istri yang senang mendapatkan buah rambutan favoritnya.
Angin sore menjelang maghrib memang menyenangkan untuk dinikmati saat ngabuburit, sayang hanya sesaat saya sudah sampai di rumah.
“Assalammualaykum … mah”
“Waalaykumussalam, lewat samping aja ya pah” jawab istriku
“Binjainya sudah ngga ada” saya berucap dengan nada kecewa sambil berjalan ke pintu masuk disamping
“Yaah … udah abis beneran ?” tanya istriku penasaran terdengar dari dalam rumah.Sambil buka pintu saya berucap dengan nada gembira :
“Tapi papah bawa rapiah bagus nih !”
“Ah mana ?! coba lihat … ” agak tergesa istriku mendatangi
“Ih serius nih … kan mahal … berapaan sekarang pah?” tanyanya dengan nada gembira
“Papah dapat di harga 45 ribu/3 ikat ini, lumayan kan ?” jawabku bangga
“Wah kalau seger-seger dan besar seperti ini mah lumayan banget Pah! … Makasih ya Pah … Semoga rasanya manis seindah bentuk fisiknya” Istriku pun tersenyum
“Manis banget mah, tadi Papah coba bandingkan dengan jenis yang agak botak, sepertinya yang ini lebih enak Mah” sanggahku dengan semangat.
“Loh Papah ngga puasa?”
“Astaghfirullohaladziim !!”
Dan kami pun saling memandang heran sampai akhirnya tertawa bersama.